Breaking News

Senin, 30 Maret 2015

Antara Jalan & Politik

      

    Jika ingin flashback ke masa pra kemerdekaan, kita akan menemukan bahwa hanya mereka yang melek POLITIK yang kemudian tergerak hatinya untuk memperjuangkan nasib bangsa ini, berpikir akan masa depan anak-anak bangsa, dan dengan pemikiran bahwa inlander dan nederlander itu egaliter, sederajat. Bahwa emprialisme adalah kekejaman yang tak bisa didiami, bahwa jika tak melawan hari ini lalu kapan akan merdeka. Mereka kemudian gencar berdiplomasi, berpolitik dengan gigihnya, menebarkan candu haus kemerdekaan, mengisi hari dengan konsolidasi, hingga prakarsa membebaskan negeri dari belenggu kekejaman penjajah menggaung. Sebagai bagian dari jihad da'i, santri dan rakyat Hindia Belanda, Indonesia. Tak peduli dengan mereka yang bertahan dalam diam, BUTA POLITIK PERMANEN. Bersembunyi di bawah ketiak penjajah. Atau kaum ningrat yang bersekongkol, meneguk nikmatnya imprealisme atas kaum kumalnya. Mereka semua sama, tak pernah terbesit dalam hatinya untuk ikut berbuat untuk bangsa.

Lalu bagaimana dengan sekarang?

       Politik "Belas Kasih" membawa Jokowi duduk gagah di singgasananya, mewah memang, namun blow up media maestream tetap saja mewajahkan sosoknya yang sederhana, merakyat dan bersahaja. Bahkan JK berani melupakan prinsip daerahnya lalu menjilat ludahnya sendiri demi menemani sang Presiden. Dan rakyat hanya bisa menelan lamat-lamat ludahnya. Pahit. Sakit. Tertipu.
Miris memang. Baru satu semester berkiprah, minim karya penuh rapor merah. Mendikte rakyat lewat kebijakan-kebijakan menyesakkan. Mengawali karir dengan "Kartu Sakti Mandraguna" seakan semua masalah akan sirna dengan mengelurkan kartu dari dompet. Simsalabim. Lalu naik turunnya harga BBM seperti kembang-kempisnya perut cukong. Berbeda dengan harga sembako yang ikut naik, lalu bertahan jika BBM turun. Ongkos transportasi yang menyesakkan pelajar. Pahit. Masih ada? Tentu. Tarif Dasar Listrik menyengat kondisi ekonomi awal bulan rakyat. Harga LPG meledakkan pikiran rakyat. "Pasak lebih besar dari tiang". Semuanya tidak lagi bisa dia jawab dengan kalimat "Bukan Urusan Saya". Lalu tentang aset negeri, utang negeri yang terus bertambah, penguasaan asing atas SDA negeri, rupiah melemah, pengedar yang sayang-sayang, koruptor yang dilenakan, rakyat yang dikorbankan. Revolusi Mental Cukong Asing.

      Lalu kini??? Kemana perginya suara-suara lantang?? Yang mengeraskan suara mendobrak rezim diktator sebelumnya??

      Kemana perginya mahasiswa-mahasiwa dengan idealismenya?? Yang giat berdiskusi akan nasib bangsa ini?? Apakah ikut membisu.
Jalanan hanya macet dengan sesaknya kendaraan, di dalamnya orang-orang mengomel manis, mencemooh kebijakan-kebijakan sang Presiden. BBM naiklah, LPG naik, harga sembako naik, dollar menguat, utang menumpuk, dan omelan-omelan sinis lainnya.
Sebagian penumpang lain ikut mengomel, kemana perginya mahasiswa?? Ke mana perginya aktivis-aktivis kampus?? Yang membuat kita gerah kepanasan, bercucur keringat, membuat macet perjalanan kita pulang kantor. Meneriakkan semangat pendobrakan rezim yang zalim. Menyuarakan nasib rakyat yang tertercekik.

    Lalu apalagi yang ditunggu? Mari tumpah-ruah ke jalan!!!

-M. Muinul Haq (Kadep Kaderisasi KAMMI Politeknik Negeri Ujung Pandang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By VungTauZ.Com